BuletinNews.com – Artikel ini menganalisis kasus penimbunan masker dan hand sanitizer yang terjadi di Indonesia pada masa awal pandemi COVID-19 melalui pendekatan sosiologi hukum. Dengan melihat hukum sebagai institusi sosial yang hidup dalam masyarakat, tulisan ini mengeksplorasi bagaimana norma hukum dan sosial berinteraksi dalam merespons tindakan menyimpang seperti penimbunan. Kajian ini menunjukkan bahwa keberhasilan hukum tidak hanya bergantung pada regulasi, tetapi juga pada penerimaan sosial, partisipasi masyarakat, dan efektivitas penegakan hukum dalam konteks sosial tertentu. Tulisan ini juga menawarkan solusi partisipatoris yang dapat mencegah praktik penimbunan barang pokok di masa krisis, serta membahas contoh kasus lain yang relevan dalam lingkungan sosial.
Kata kunci: sosiologi hukum, penimbunan, pandemi, hukum progresif, rekayasa sosial
Pendahuluan
Pandemi COVID-19 telah menimbulkan berbagai dampak sosial dan ekonomi, salah satunya adalah meningkatnya praktik penimbunan barang kebutuhan pokok seperti masker dan hand sanitizer. Menurut laporan Polri (2020), terdapat 18 kasus penimbunan yang ditangani oleh berbagai Polda, termasuk empat kasus di Jawa Timur. Fenomena ini tidak hanya merupakan pelanggaran hukum, tetapi juga menunjukkan lemahnya solidaritas sosial di tengah krisis. Dalam konteks ini, sosiologi hukum memiliki peran strategis untuk memahami bagaimana hukum berfungsi dalam masyarakat dan bagaimana ia dapat digunakan sebagai alat rekayasa sosial (Satjipto Rahardjo, 2009).
1. Analisis Kedudukan Sosiologi Hukum dalam Ilmu Sosial: Kasus Penimbunan Masker dan Hand Sanitizer
Sosiologi hukum mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dan struktur sosial masyarakat (Hendarso, 2022). Dalam kasus penimbunan masker, hukum berfungsi sebagai kontrol sosial yang harus mampu merespons dinamika sosial secara tepat. Kedudukannya dalam ilmu sosial terletak pada:
- Pengendalian Sosial: Hukum menjadi instrumen negara untuk menekan perilaku menyimpang, seperti penimbunan, yang muncul akibat krisis kepercayaan dan kepanikan.
- Legitimasi dan Moral Sosial: Hukum diharapkan mencerminkan nilai keadilan yang hidup di masyarakat. Penimbunan saat pandemi merupakan tindakan yang secara moral dikutuk karena mencederai rasa keadilan dan empati sosial.
- Efektivitas Sosial: Tidak cukup hukum ditegakkan secara normatif. Keberhasilannya ditentukan oleh sejauh mana masyarakat patuh dan merespons hukum tersebut secara positif.
Dengan demikian, sosiologi hukum menjembatani antara aturan hukum tertulis dan realitas sosial yang terjadi di lapangan.
2. Solusi Efektif Mengurangi Penimbunan: Pendekatan Sosiologi Hukum
Solusi yang Diusulkan: Pendekatan hukum partisipatif dan edukatif berbasis komunitas.
Rasionalisasi Sosiologis:
- Internalisasi Norma: Masyarakat harus diberikan pemahaman bahwa penimbunan bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga merusak tatanan sosial.
- Keterlibatan Sosial: Peran serta tokoh masyarakat, organisasi lokal, dan komunitas dalam pengawasan harga dan distribusi barang menjadi kunci dalam mencegah panic buying.
- Kombinasi Pendekatan Represif dan Preventif: Penindakan hukum yang tegas diperlukan, namun harus diiringi dengan edukasi publik untuk membentuk kesadaran hukum.
Implementasi Nyata:
- Edukasi publik melalui media lokal tentang larangan dan dampak penimbunan.
- Pembentukan tim pengawas komunitas oleh pemerintah daerah.
- Kampanye sosial menjelang hari raya agar masyarakat tidak melakukan pembelian berlebihan.
- Penggunaan pasal maksimal dari UU Perdagangan dan UU Perlindungan Konsumen untuk menjerat pelaku.
Pendekatan ini sejalan dengan hukum progresif Satjipto Rahardjo (2009) yang menekankan keadilan substantif di atas formalitas hukum semata.
3. Contoh Lain: Aplikasi Sosiologi Hukum dalam Lingkungan Sosial
Kasus 1: Penolakan Pembangunan TPS (Tempat Pembuangan Sementara)
Warga di sebuah kelurahan menolak pembangunan TPS meski proyek telah sah secara hukum. Mereka merasa pembangunan tersebut mengancam kenyamanan dan lingkungan.
- Analisis: Terjadi ketegangan antara hukum formal (legalitas) dan nilai sosial lokal. Hukum tidak dapat berjalan efektif tanpa dukungan sosial.
- Peran Sosiologi Hukum: Pemerintah perlu melakukan pendekatan partisipatif, dialog, dan sosialisasi agar tercapai legitimasi sosial.
Kasus 2: Penolakan Pembangunan Rumah Ibadah
Meskipun telah memenuhi syarat administratif, pembangunan rumah ibadah kerap ditolak warga mayoritas.
- Analisis: Ini menunjukkan adanya benturan antara hak hukum (kebebasan beragama) dan sentimen sosial (intoleransi).
- Peran Sosiologi Hukum: Diperlukan dialog interkomunal dan pendidikan multikultural agar hukum mendapat penerimaan sosial.
Kedua kasus ini menegaskan bahwa hukum bukan hanya soal legalitas, melainkan juga legitimasi sosial, sebagaimana ditegaskan dalam teori otoritas hukum Max Weber.
Kesimpulan
Sosiologi hukum berperan penting dalam memahami dan menyelesaikan persoalan hukum yang bersumber dari dinamika sosial, seperti penimbunan barang saat krisis. Keberhasilan penegakan hukum tidak hanya ditentukan oleh aturan yang tegas, tetapi juga oleh respons dan penerimaan sosial. Oleh karena itu, solusi yang menggabungkan pendekatan represif, preventif, dan edukatif menjadi strategi yang lebih efektif. Kajian ini memperlihatkan bahwa hukum harus bersifat adaptif dan komunikatif untuk dapat berfungsi optimal dalam masyarakat yang terus berubah.
Daftar Pustaka:
- Hendarso, Yoyok. (2022). Sosiologi Hukum (SOSI4416). Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.
- Rahardjo, Satjipto. (2009). Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan. Jakarta: Kompas.
- Huijbers, Theo. (1982). Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: Kanisius.
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.
- Wahyudi, Dwi. (2016). “Hukum dan Perubahan Sosial.” Jurnal Sosiohumaniora, 18(1), 11–23.
- Antara News. (2020). “Polri Tangani 18 Kasus Penimbunan Masker dan Hand Sanitizer.” 1 April 2020. https://www.suarasurabaya.net
Komentar